Selasa, 29 Maret 2016

aqidah dan akhlaq

                                                            BAB I
  1. PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang santun karena dalam Islam sangat menjunjung tinggi pentingnya akhlak dan moral keduanya adalah hal yang sangat penting karena telah mencakup segala pengertian tingkahlaku, tabiat, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam hubungan nya dngan Allah SWT. Atau dengan sesama makhluk.
Timbulnya kesadaran serta pendirian Akhlak dan moral merupakan pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan.
Hidup yang selalu berpegang teguh pada akhlak dan moral adalah tindakan yang tepat dalam mewujudkan terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak sesuai dengan akhlak dan moral yang baik merupakan tindakan yang menentang kesadaran tersebut.
Sebagai generasi penerus kita harus selalu berakhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari demi terciptanya kehidupan yang rukun dan damai.
Untuk itu pada makalah ini akan sedikit kami paparkan apa pengertian ahlak dan moral, dan apa perbedaan ahlak dan moral.
  1. RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian ahlak.
2.      Apa pengertian moral.
3.      Mengetahui perbedaan antara ahlak dan moral


BAB 2
ISI
A.    Ahlak dalam islam,  pengertian dan perbedaan ahlak dan moral.

a.      Pengertian ahlak.
Ada dua pendekatan yang bisa digunakan untuk mendevinisikan akhlak, yaitu melalui pendekatan linguistic (kebahasaan) atau billughah dan pendekatan terminologik (istila) atau albayyanu.
Dari sudut kebahasaan ahklak berasal dari bahasa arab yaitu isim masdhar (bentuk invinitive) akhlaka, yakhluqu, ikhlaqan, sesuai dengan timbangan (wajan) fa’ala, yuf’ilu, if’alan, yang berarti al-syajiyah (perangai) ath-thabi’ah (kelakuanatauwatakdasar) al-adat (kebiasaan, kelajiman)
Secara linguistic akhlak merupakan isim jamid atau isim ghairmustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya, kata akhlak adalah jamak dari kata khilqun yang artinya sama dengan arti akhlak sebagaimana yang telah disebutkan diatas.
Namun secara umum akhlak adalah perbuatan atau tingkah laku manusia baik atau buruk, sebagaimana dalam Q.S ASY-SYAMS :8 disebutkan
“maka dia mengilhamkan jalan kejahatan dan ketaqwaan”  dalam ayat ini sangat jelas bahwa peranghai baik buruknya manusia, itu sudah merupakan jalan yang diberikan kepadanya, namun agama sangat menganjurkan kepad aumatnya agar selalu berbuat baaik sebagaimana dalam Q.S AL-QALAM  :4  disebutkan bahwa
dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti  yang luhur”            Dalam hadits nabi juga di sebutkan bahwa “orang mukmin yang paling sempurna keimanannya, adalah orang yang sempurna budi pekertinya”  H.R TIRMIDZI
                                                                                                              
Dengan demikian merujuk pada ayat di atas kata akhlaq atau khuluqun secara kebahasan berarti budi pekerti atau kebiasaan, atau perangai muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi’at.
Namun dalam devinisi lain,  ahklak merupakan,  kehendak  yang  biasa di lakukan. Artinya asegela sesuatu atau kehendak yang terbiasa di lakukan itu bisa di sebut ahklak.[1]
Sementara dalam devinisi lainnya ahklak adalah perilaku jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan kegiatan tanpa melalui pertimbangan-pertimbangan (sebelumnya)[2] artinya adalah sikap atau perilaku seseorang yang dilakukantan pada pertimbangan atau perencanaan sebelumnya itu juga bisa di sebut sebagai akhlak ataau tabi’atnya.
Hal ini setara dengan pemikiran pilosof muslim mengenai akhlak yaitu segala sifat yang tertanam dalam hati, yang menimbulkan kegiatan-kegiatan dengan ringan dan mudah tanpa memerlukan pemikiran sebagai pertimbangan untuk melakukannya[3]
   Keseluruhan devinisi akhlak di atas tampak tidak ada yang bertentangan, melainkan memiliki kemiripan atau ada keterkaitan diantaranya.
Dari beberapa devinisi tersebut kita dapat menarik ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak itu sendiri.
Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiannya, kedua perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan tanpa ada pemikiran, namun ini tidak berarti pada saat melakukan perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila, perbuatan akhlak adalah perbuatn yang dilakukan oleh orang yang sehat akal pikirannya, ketiga perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari orang lain, keempat perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sessungguhnya, bukan main-main atau senda gurau saja, apalagi kalu Cuma bersandiwara atau acting.[4]
b.      Pengertian moral.
moral berasal dari bahasa latin mores yaitu jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral ialah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik,buruk.
Di dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English dikemukakan beberapa pengertian moral sebgai berikut:
1.      Concerning principles of right and wrong.
2.      Good and virtuos.
3.      Able to understand the difference beetween right and wrong.
4.      Teacing or illustrating good behaviour.
Dengan keterangan di atas, moral merupakan istilah yang digunakan untuk memberikan batasan  terhadap aktivitas manusia dengan nilai/hukum baik atau buruk, benar atau salah. Dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang yang mempunyai tingkah laku yang baik sebagai orang yang bermoral.
Kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk dengan tolak ukur akal pikiran, dalam penbahasan moral tolak ukurnya adalh norma-norma yang hidup di masayarakat. Dalam hal ini Dr. Hamzah Ya’qub mengatakan: “yang disebut moral ialah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar”.
Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang  yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan disekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.
Moral adalah perbuatan/tingkahlaku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarak tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya.
maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.                          
Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Moral juga dapat diartikan sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan seseorang pada saat Mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman, tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll
Adapun devinisi lain tentang moralitas adalah  hal kenyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat[5]
Dari devinisi di atas jelas bahwa moral adalah sikap batin seseorang yang dilakukan tanpa ada penyesuaian dengan aturan atau norma, undang-undang, agama, kultur budaya, dan lain sebagainya, namun dengan begitu moral bukanlah sesuatu yang keluar tanpa memperhatikan norma atau undang-undang yang berlaku Karena Moralitas adalah pelaksanaan kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia.
Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Adapun pengertian moral dalam kamus filsafat dapat dijabarkan sebagai berikut:
a.       Menyangkut kegiatan-kegiatan yang dipandang baik atau buruk.
Benar atau salah, tepat atau tidak tepat
b.      Sesuai dengan kaidah-kaidah yang diterima, menyangkut apa yang  dianggap benar, baik, adil dan pantas.
c.       Memiliki:
Ø  Kemampuan untuk diarahkan oleh (dipengaruhioleh) keinsyafan benar atau salah.
Ø  Kemampuan untuk mengarahkan (mempengaruhi) orang lain sesuai dengan kaidah-kaidah perilaku nilai benar dan salah.
d.      Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam Berhubungan dengan orang lain.

B.     Pebedaan antara ahlak dan moral.
antara akhlak, dan moral terdapat beberapa perbedaan yang menjadi ciri khas masing-masing dari kedua istilah tersebut. Berikut ini adalah uraian mengenai segi-segi perbedaan yang dimaksud:
Pertama, akhlak merupakan istilah yang bersumber dari Al-Qur’an dan al-Sunnah. Nilai-nilai yang menentukan baik dan buruk, layak atau tidak layak suatu perbuatan, kelakuan, sifat, dan perangai dalam akhlak bersifat universal dan bersumber dari ajaran Allah.
Sementara itu, moral merupakan filsafat nilai, pengetahuan tentang nilai-nilai, dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Jadi, moral bersumber dari pemikiran yang mendalam dan renungan filosofis, yang pada intinya bersumber dari akal sehat dan hati nurani. moral besifat temporer, sangat tergantung kepada aliran filosofis yang menjadi pilihan orang-orang yang menganutnya.










BAB III
KESIMPULAN
            Pada dasarnya ahlak adalah perbuatan yang timbul dari diri seseorang yang timbul secara  spontanitas dan tidak didasarkan pada pemikiran terlebih dahulu.
            Moral adalah sesuatu yang perbuatan atau tingkan seseorang yang dilakukan menurut pemikiran dan tafsiran hatinya, artinya sesuatu poerbuatan yang sudah dipertimbangkan oleh hati dan pikiran.




[1] Prof. sr. Ahmad Amin                                                                                                                       
[2]IbnuMaskawih
[3] Imam al-Ghazali
[4]Kesimpulankelompok
[5] Immanuel Kant                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

ilmu alquran. aqsam al-quran, amtsal al quran, ira’at al-quran, qashash al-quran, tafsir, takwil dan terjemah

ILMU AL-QURAN
aqsam al-quran, amtsal al-quran,qira’at al-quran, qashash al-quran, tafsir, takwil dan terjemah

DI SUSUN OLEH:
Nama: Armin Kasim
Mahasiswa











JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN ALAUDIN MAKASSAR
2014
BAB I
Aqsam al quran

A.  Pengertian Aqsam Al-Qur’an.

          Aqsam adalah bentuk jamak dari kata qasam (sumpah). Para pakar gramatika bahasa arab mengartikan qasam kalimat yang berfungsi menguatkan berita, sedangkan  menurut manna Al-Qaththah, qasam semakna dengan hilf dan yamin, tetapi muatan makna kata qasam lebih tegas. Dalam kamus bahasa Indonesia, sumpah (qasam) adalah pernyataan  yang di ucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang di anggap suci bahwa apa yang dikatakan dan dijanjikan itu benar.
          Jadi, aqsam al-Qur’an adalah sumpah-sumpah yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an, baik yang diperbuat atau tidak diperbuat terhadap suatu perbuatan yang diperkuat dengan kata-kata sumpah sesuai dengan ketentuan syara’.
B.  Unsur-unsur Aqsam dan ungkapannya.

     1.   Fi’il (kata kerja) transitif dengan huruf ba’
          Istilah Aqsam   al-Qur’an terdiri atas dua kata, yakni aqsam dan Al-Qur’an. Kata aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti ‘’sumpah’’. Kata kerja qasama berasal aqsama yang di ta’ddikan dengan huruf ba’ menjadi aqsama bi yang bernama halafa bi atau yamin (sumpah). Misalnya:

واقسموا بالله جهد ايمنهم لا يبعث الله من يموت ........ (النحل : 38)
Artinya:
‘’mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah nya yang sungguh-sungguh, ‘’Allah tidak akan membangkitkan orang yang mati’’. (Qs. An-Nahl (16) : 38).
          Kata aiman adalah bentuk jamak dari yamin yang berarti “tangan kanan”. Sumpah disebut aiman, karena kebiasaan orang-orang arab dahulu memegang tangan kanan temannya pada waktu mengucapkan sumpah.
          Selanjutnya huruf qasam ba’ diganti wawu apabila muqasam nya terdiri atas isim dhamir (kata ganti). Kadangkala huruf ba’ diganti oleh huruf ta’ apabila muqsam nya lafazh jalalah, contoh nya:

قالوا تالله لقد علمتم ماجئنا لنفسد في الارض وماكنا سرقين  (يمسف : 73)
Artinya:
“saudara-saudara yusuf menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri.”  (Qs. Yusuf (12) : 73)

      2.   Muhkam bih (مُقسم به) adalah sesuatu yang dijadikan sumpah oleh Allah.
          Di dalam Al-Qur’an, Allah terkadang bersumpah dengan diri-Nya sendiri dan terkadang pula dengan sifat-sifat-Nya. Sumpah-Nya dengan sebagian mahluk-Nya menunjukan bahwa mahluk itu merupakan salah satu dari keagungan-Nya. Di dalam Al-Qur’an, Allah bersumpah dengan diri-Nya sendiri pada tujuh tempat yakni:
1)   Surat Adz-Dzariyat (51) ayat 23 :

فورب السماء والارض انه لحق مثل ما انكم تنطقون  (الذاريات : 23)
Artinya:
“maka Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.”  
2)   Surat Yunus (10) ayat 53
3)   Surat At-Taghabun (64) ayat 7
4)   Surat Maryam (19) ayat 68
5)   Surat Al-Hijr (15) ayat 92
6)   Surat An-Nisa (4) ayat 65
7)   Surat Al-Ma’arij (70) ayat 40

Allah juga bersumpah dengan mahkluk-makhluk-Nya, yakni di dalam surat:
1)   Surat Asy-Syams (91) ayat 1-6 :
والشمس وضحها . والقمر اذا تلها . والنهار اذا جلها . واليل اذا يغشها . والسماء ومابنها .
 والارض وما طحها . (الشمس : 1-6)
Artinya:
“demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringnya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya.” 
(Qs. Asy-Syam (91) : 1-6)
2)   Surat Al-Lail (92) ayat 1-3
3)   Surat Al-Fajr (89) ayat 1-4
4)   Surat At-Takwir (81) ayat 15
5)   Surat At-Tin (95) ayat 1-2
Terhadap pertanyaan “mengapa Allah bersumpah dengan menyebut mahkluk-mahkluk-Nya, padahal ada larangan untuk bersumpah dengan menyebut selain Allah”. As-Suyuthi mengemukakan jawaban tersebut.
a.   Ada kata yang dibuang pada ungkapan demi buah tin dan demi buah zaitun. Yakni, kata pemilik jadi, ungkapan yang sebenarnya adalah demi pemilik buah tin dan demi pemilik matahari.
b.   Orang-orang Arab biasa mengungkapkan benda itu dan menjadikannya sumpah. Karena itu Al-Qur’an pun turun dengan ungkapan sumpah yang mereka kenal.
c.   Sumpah dilakukan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dan dimuliakan kedudukannya berada diatas orang yang bersumpah, sedangkan bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang kedudukannya lebih mulia.
          Ibn Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-Hasan yang menegaskan bahwa Allah dapat saja bersumpah dengan menyebut nama-Nya sesuai dengan kehendak makhluk-Nya, tetapi manusia hanya boleh bersumpah dengan menyebut nama Allah.
          Para ulama menuturkan bahwa Allah bersumpah pula dengan menyebutkan Nabi pada firman-Nya:“Demi umurmu(Muhammad)” agar orang-orang mengetahui keagungan Nabi Muhammad SAW disisi Allah.
Ibn Mardawiyyah pun mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa Allah tidak pernah memuliakan makhluk-Nya melebihi Nabi Muhammad
3.   Al-Muqsam ‘alaihi atau jawab al-qasam, yakni yang dimaksudkan dalam ucapan sumpah, sesuatu yang diperkuat dengan sumpah. Untuk itu tidak tepat difungsikan, kecuali menyangkut hal-hal berikut:
a.   Hendaklah yang disumpah atasnya memiliki kepentingan tersendiri.
b.   Hendaklah lawan bicara berada dalam kondisi meragukan ini pembicaraan.
c.   Lawan bicara tidak percaya terhadap ini pembicaraan.

C.  Macam-macam Qasam (aqsam).
1.   Jenis-jenis aqsam Al-Qur’an
Ø Ditinjau dari segi tujuan seseorang melakukan sumpah, para ulama membagi sumpah kepada tiga kategori:
a.   Yamin al-Lagwi adalah suatu sumpah yang menggunakan nama Allah dalam sumpah nya, tetapi tidak dimaksudkan atau diniatkan untuk bersumpah.
Sumpah semacam ini tidak ada relevasinya dengan hokum, maksudnya bila ia melanggar pernyataan nya pelanggar tidak diwajibkan membayar kaffarat, seperti firman nya dalam Qs. Al-Baqarah (2): 225.
b.   Yamin al-Mun’aqidah adalah sumpah dengan menyebut nama Allah dalam sumpahnya dan diucapkan dengan maksud untuk bersumpah, sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’.
Sumpah semacam ini, dihukum sumpah bila diniatkan untuk bersumpah, dan jika ia melanggarnya, wajib membayar kaffarat. Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah (2): 225.
c.   Yamin al-Gumus yaitu sumpah palsu, sumpah yang berisi kedustaan, kepalsuan, untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Orang yang demikian itu, diancam oleh Allah dengan azab yang besar, seperti firman-nya dalam Qs. An-Nahl (16): 94.

Ø Pembagian sumpah, apabila ditinjau dari segi sifatnya, para ulama membaginya kedalam dua hal:
1)   Sumpah yang bersifat konkrit (zahir), yaitu apabila lafal sumpah berasal dari isim zahir, seperti firman Allah dalam Qs. Al-Zariyat (51): 23. 
2)   Sumpah yang bersifat abstrak yaitu sumpah yang dipahami dari segi makna, sumpah seperti ini terbagi dua:
a)   Sumpah yang mempergunakan lam al-qasam, misalnya firman Allah (Qs. Maryam, 19: 186).
b)   Sumpah yang dipahami dari segi makna kalimat, misalnya Qs. Maryam (19): 71.
Ø Sumpah ditinjau dari segi karaterisiknya, dapat dibagi kedalam tiga bagian:
1)   Karena zatnya (bi zatihi).
2)   Karena prosesnya (fi’lihi).
3)   Karena objeknya (maf’ulihi).

       .












BAB II
Amtsal al quran
A.    Pengertian amtsal al quran
Kata amtsal adalah jamak dari kata matsal. Matsal, mitsl, dan matsil sama dengan syabah, syibh dan syabih (semakna). Matsal diartikan dengan keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian, menakjubkan. Orang yang pertama kali menyebut matsal ialah Al-Hakam ibn Yaghus yang membuat suatu perumpamaan bagi orang yang biasanya tidak tepat lemparannya, yang sesekali tepat lemparannya. Menurut keterangan ini harus ada sesuatu yang lebih dulu untuk diserupakan dengan yang lain. Tetapi dalam Amtsal al-Quran tidak demikian.[1]
Menurut Drs. Rosihon anwar, M.A.g beliau berkata bahwasanya ilmu amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan perumpamaan Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan Al-Quran.
Amtsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk perkataan yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih atau pun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Menurut Ibnul Qoyyim amtsal Al-Qur’an adalah menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukum dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang kongkrit (mahsus), atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya sebagai yang lain. Sebagaian besar contoh amtsal Al-Qur’an menurut Ibnul Qoyyim menggunakan tasybih shorih seperti firman Allah:
“Sesungguhnya matsal kedudukan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang Kami
turunkan dari langit” (QS.Yunus:24)
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan tentang majaz, perbandingan, penyerupaan sesuatu dengan yang lain dalam Al-Qur’an.
Amtsal al-Qur’an adalah:
إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ كَانَتْ تَشْبِیْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلًا
Yaitu menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal (ungkapan bebas).
Definisi inilah yang relevan dengan yang terdapat dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal al-Qur’an.
B.Unsur-unsur Amtsal
Al-Qur’an Sebagian Ulama mengatakan bahwa Amtsal memiliki empat unsur, yaitu:
1. Wajhu Syabah: segi perumpamaan
2. Adaatu Tasybih: alat yang dipergunakan untuk tasybih
3. Musyabbah: yang diperumpamakan
4. Musyabbah bih: sesuatu yang dijadikan perumpamaan.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Wajhu Syabah pada ayat di atas adalah “pertumbuhan yang berlipat- lipat”. Adaatu tasybihnya adalah kata matsal. Musyabbahnya adalah infaq atau shadaqah di jalan Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.
C.Macam-macam Amtsal dalam Al-Quran
Amtsal dalam al-Quran ada 3 macam:
a.       Amtsal yang tegas (musharrahah).
b.      Amtsal yang tersembunyi (kaminah).
c.       Amtsal yang terlepas (mursalah).
Amtsal musharrahah ialah yang ditegaskan di dalamnya lafal matsal atau yang menunjuk kepada tasybih. Di antaranya perumpamaan yang Allah berikan terhadap orang-orang munafik dalam surat al-Baqarah. Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi orang munafik. Pertama, perumpamaan yang berhubungan dengan api. Dan yang kedua perumpamaan yang berhubungan dengan air. Dan Allah membuat dua perumpamaan pula, perumpamaan yang berhubungan dengan air dan perumpamaan yang berhubungan dengan api dalam surah Ar-Ra’d.
Amtsal kaminah ialah yang tidak ditegaskan lafal tamsil. Tetapi dia menunjukkan kepada beberapa makna yang indah dan mempunyai tekanan apabila ia dipindahkan kepada yang menyerupainya. Para ulama telah membuat contoh tentang amtsal ini dengan beberapa perumpamaan.
Di antaranya ayat yang senada dengan perkataan:
خيرالأُمُوْرِالْوَسَطُ
“Sebaik-baik urusan adalah yang seimbang.”
Allah berfirman:
...لا فارضٌ ولابكرٌعوانبين ذالك....البقرة: 68
“... Sapi betina yang tidak tua tidak muda, pertengahan antara itu....” (QS. Al-Baqarah [2]: 68)
Dan yang senada dengan perkataan:
ليس الخيركالمعاينة.
“Berita itu tidak sama dengan kenyataan.”
Allah berfirman:
...قال أولم تؤمن قال بلى ولكن ليطمئنّ قلبي....البقرة:260
“...Dan apakah engkau belum beriman (percaya)? Ibrahim menjawab: “Saya percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya....” (QS. Al-Baqarah [2]: 260)
كماتَدِيْنُ تُدانُ.
“Sebagaimana engkau lakukan terhadap orang lain, begitulah yang akan dilakukan terhadapmu.”
Allah berfirman:
...من يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَبِهِ....النّساء:123
“...Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalasnya dengan kejahatan itu....”(QS. An-Nisa’ [4]: 123)
لَايُلْدَغُ المؤمن فى جحرٍمرّتين.
“Tidaklah seorang mukmin masuk ke dalam lubang binatng buas sampai dua kali.”
Allah berfirman:
قال هل اّمنكم عليه إلا كما امِنتكم على أخيه من قبلُ....يوسف:64
“Ya’kub berkata: “Tidaklah aku mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu....” (QS. Yusuf [12]: 64)
Amtsal mursalah ialah kalimat-kalimat yang disebut secara terlepas tanpa ditegaskan lafal tasybih. Tetapi dapat dipergunakan untuk tasybih.
Di antaranya adalah:
...اَلئن حصحص الحقُّ....يوسف:51
“...Sekarang ini jelaslah kebenaran itu....” (QS. Yusuf [12]: 51)
D.    Manfaat Amtsal al-Quran
Di antara manfaat amtsal al-Quran ialah:
  1. Menonjolkan sesuatu yang hanya dapat dijangkau dengan akal menjadi bentuk kongkrit yang dapat dirasakan atau difahami oleh indera manusia.
  2. Menyingkapkan hakikat dari mengemukakan sesuatu yang tidak nampak menjadi sesuatu yang seakan-akan nampak.
  3. Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam ungkapan yang padat, seperti dalam amtsal kaminah dan amtsal mursalah dalam ayat- ayat di atas.
  4. Memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsal.
  5. Menghindarkan diri dari perbuatan negatif.
  6. Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt. banyak menyebut amtsal untuk peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya.
  7. Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.

Allah banyak menyebut amtsal dalam al-Quran untuk pengajaran dan peringatan. Allah swt. berfirman:
ولقد ضربنا للنّاس في هذا القراّنِ من كلّ مَثَلٍ لعلّهميتذكّرون. الزمر:37
“Dan sungguh telah Kami buat untuk manusia dalam al-Quran ini berbagai macam rupa matsal. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran dari padanya.” (QS. Az-Zumar [39]: 27)
وتلك الأمثال نضربها للناس وما يعقلها إلّاالعالمون. العنكبوت: 43
“Itulah matsal-matsal yang Kami buat untuk manusia dan tidaklah dapat dipahamkan matsal-matsal itu melainkan oleh orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut [29]: 43)
E.     Ciri-Ciri Amtsal
Adapun ciri-ciri amtsal al-Quran, yaitu:
  1. Mengandung penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas, konkret, dan berkesan.
  2. Amtsal memiliki kesejajaran antara situasi-situasi perumpamaan yang dimaksud dan padannya.
  3. Ada keseimbangan (Tawazun) antara perumpanaan dan keadaan yang dianologikan.


BAB III
QASHASH AL QUR’AN
A.    PENGERTIAN QASHASH AL QUR’AN
Dari segi bahasa, kata qashash berasal dari bahasa arab al qashshu atau al qishshatu yang berarti cerita.3 dikatakan قَصَصْتُ أَثَرَهً artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al qashash adalah bentuk masdar. Firman allah: فَارْتَدَّا عَلىٰ آثَارِهِمَاقَصَصًا (al kahfi :64). Dan firman allah melalui lisan ibu musa: وَقَالَتْ لأُ خِتِهِ قُصِّيهِ (dan berkatalah ibu musa kepada saudaranya yang perempuan: ikutilahdia.) [al qashash : 11]. Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapa yang mengambilnya.
Qashash berarti berita yang berurutan. Firman allah: إِنْ هَذَا لَهُوَالْقَصَصُ الْحَقُّ (sesungguhnya ini adalah berita yang benar.) [ali imran : 62]. Sedang al qishah berarti urusan, berita, perkara dan keadaan.
Qashash al qur’an adalah pemberitaan qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
B.      MACAM-MACAM KISAH DALAM ALQUR’AN DAN KARAKTERISTIK NYA
Kisah-kisah dalam al qur’an ada tiga macam.
Pertama, kisah para Nabi terdahulu. Kisah ini mengandung informasi mengenai dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Harun dan Isa.
Kedua, kisah-kisah menyangkut pribadi-pribadi dan golongan-golongan dengan segala kejadiannya yang dinukil oleh Allah untuk dijadikan pelajaran, seperti kisah Maryam, Lukman, Dzulqarnain, Qarun dan Ashabul kahfi.
Ketiga, kisah-kisah menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa Rasulullah SAW. Seperti perang badar, perang uhud, perang ahzab,bani quraizah, bani nadzir dan zaid bin haritsah dengan abu lahab.
Karakteristik kisah-kisah dalam al qur’an
Al qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara berurutan (kronologis). Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam al qur,an dan dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda. Disatu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar. Penyajian kisah-kisah dalam al qur’an begitu rupa mengandung  beberapa hikmah. Di antaranya,
pertama, menjelaskan balaghah al qur’an dalam tingkat paling tinggi. Kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenannya, bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan di saat membacanya di tempat yang lain.
Kedua, menunjukkan kehebatan al qur’an. Sebab, mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan arab, merupakan tantangan dahsyat dan bukti bahwa al qur’an itu datang dari Allah.
Ketiga, mengundang perhatian yang besar terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan tanda betapa besarnya perhatian al qur’an terhadap masalah tersebut. Misalnya kisah Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan pergulatan sengit antara kebenaran dengan kebatilan.
Keempat, penyajian seperti itu menunjukkan perbedaan tujuan yang karenannya kisah itu diungkapkan. Sebagian dari makna-maknanya diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedangkan makna-makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan keadaan.
C.    TUJUAN KISAH  DALAM AL QUR’AN
          Cerita dalam al qur’an bukanlah suatu gubahan yang hanya bernilai sastera saja, baik gaya bahasa maupun cara menggambarkannya peristiwa-peristiwanya. Memang biasanya demikianlah wujudnya, cerita yang merupakan hasil kesusastraan murni. Bentuknya hanya semata-mata menggambarkan seni bahasa saja. Tetapi cerita dalam al qur’an merupakan salah satu media untuk mewujudkan tujuannya yang asli. Jika dilihat dari keseluruhan kisah yang ada maka tujuan-tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, salah satu tujuan cerita itu ialah menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al qur’an tujuan ini diterangkan dengan jelas di antaranya dalam QS.12 : 2-3 dan QS 28 : 3. Sebelum mengutarakan cerita nabi musa, lebih dahulu al qur’an menegaskan, “kami membacakan kepadamu sebagian dari cerita Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk kamu yang beriman”. Dalam QS 3 : 44 pada permulaan cerita Maryam disebutkan, “itulah berita yang ghaib, yang kami wahyukan kepadamu”.
            Kedua, menerangkan bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi Muhammad SAW, bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu umat. Bahwa Allah yang maha esa adalah tuhan bagi semuanya (QS 21 : 51-92).
Ketiga, menerangkan bahwa agama itu semuanya dasarnya satu dan itu semuanya dari tuhan yang Maha Esa (QS 7 : 59).
Keempat, menerangkan bahwa cara yang ditempuh oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap dakwahnya itu juga serupa (QS Hud)
Kelima, menerangkan dasar yang sama antara agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim As., secara khusus, dengan agama-agama bangsa israil pada umumnya dan menerangkan  bahwa hubungan ini lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama. Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa dan Isa As.


BAB IV
QIRA’AT ALQURAN
A.    Pengertian Qira’at Al-Qur’an
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Jadi, lafal qiro’at secara lughawi berarti beberapa pembacaan. Secara istilah ada beberapa pendapat tentang definisi tersebut, yaitu:
a.         Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu mazhab  yang dianut oleh seorang imam yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al karim serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafalnya.
Definisi ini mengandung tiga unsure pokok. Pertama qira’at dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua cara bacaan yang dianut dalam dalam satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan qira’at bias terjadi dalam pelafalan huruf dan dalam berbagai keadaan.
Ini sesuai dengan hadis nabi SAW. yang artinya:
sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacanya) maka bacalah (menurut) makna yang engkau anggap mudah
b.        Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan membangsakan kepada penukilnya.
B.   Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at
Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun dalam perihal membaca al-qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca dalam keadaan. Dengan demikian timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya masuk ke Masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik”.
Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan Al Qur’an.Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing[1].
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim mushaf-mushaf  keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Tatkala para qori pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga  bisa   membedakan  antara bacaan  yang  benar dan yang salah. Mereka mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah. Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah al-Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25 Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.
C.        Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an
Di dalam ilmu qira’at ada macam-macamnya ,dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga macam yaitu:
a.         Qira’at sab’ah (qir’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin Katsir Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu ‘Amar, Ya’qub (nama lengkapnya Ibn Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim.
.        Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah bin Abu Ishaq      Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf bin Hisam.
c.         Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin ‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi    Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz.
Dilihat dari segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu:
a.         Qira’ah Mutawatir yakni qiraa’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan yakni sampai kepada Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.
b.        Qira’ah Masyhur yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf  Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.[2]
c.         Qira’ah Ahad yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf  Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana qira’at mutawatir dan qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib meyakininya.
d.        Qira’ah Syadz (menyimpang) yakni qira’at yang sanadnya tidak shohih.
e.         Qira’at Maudhu’ (palsu atau dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada asalnya.[3]
f.         Qira’at Mudraj (sisipan) yakni qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang sah.


BAB V
TAFSIR,TA’WIL,TERJEMAH
A.    TAFSIR
1.       Pengertian Tafsir
          Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil. Pengertian tafsir dengan makna di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Furqan :
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu) yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)
Maksudnya ialah: penjelasan yang lengkap dan terperinci sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abas.
Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan ilmu yang membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang melengkapinya.
Kata As Zarkasyy dalam Al Burhan “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al Qur-an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.



2.      Kedudukan Tafsir
          Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu yang paling mulia, sebagai judul, tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah kalaam atau wahyu Allah SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala keutamaan. Selanjutnya, bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan menyampaikan kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin terasa kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah sesuai dengan ketentuan syara’. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang terdapat dalam Kitab Allah SWT.

  1. Ta’wil
  1.  Pengertian Ta’wil
        Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti kembali ke asal. Adapun mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan merupakan makna lahirnya. Kata sebahagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud daripadanya.” Sebahagian yang lain berkata : “Ta‘wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat diterima oleh lafadh.”
  1.  Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Para mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan Ta’wil. Kata Ar Raghib Al Asfahany : “Tafsir lebih umum dari ta’ wil. Dia lebih banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai mengenai makna dan susunan kalimat.”
Kata Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh. Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Umpamanya firman Allah s.w.t.:
“Bahwasanya Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.”
(Q.A. 14. S. 89 . AlFajr).
Tafsirnya ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan hamba-Nya. Adapun ta’wilnya, ialah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari lengah mempersiapkan persiapan yang perlu. Kata segolongan pula : “Tafsir berpaut dengan Riwayat. sedang ta’wil berpaut dengan Dirayat. Hal ini mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat, sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang bahasa ‘Arab.
Umpamanya firman Allah:
“Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (Q.A. 95.S. 6: Al An’am).
Maka jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki, mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir, dinamailah ta’wil.
Perbedaan antara keduanya dapat dipaparkan di bawah ini.
1. TAFSIR
  • Pemakaiannya banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat
  • Jelas diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
  • Banyak berhubungan dengan riwayat
  • Digunakan dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
  • Bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki. 
2. TAKWIL
  • Pemakaiannya lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
  • Kebanyakan diistinbath oleh para ulama
  • Banyak berhubungan dengan dirayat
  • Digunakan dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
  • Menerangkan hakikat yang dikehendaki
  1. Terjemah
    1.  Pengertian Terjemah
          Secara lafazh terjamah dalam bahasa Arab memiliki arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisa al-’Arab: 
Yang dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan pengertian terjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Terjamah ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Kata “terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1). Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2). Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.





    1.  Syarat-syarat terjemah
Secara umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam terjemah, baik terjemah harfiyah maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
  1. Penerjemah memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun bahasa terjemahnya;
  2. Penerjemah memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari kedua bahasa tersebut;
  3. Hendaknya dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama;