ILMU AL-QURAN
aqsam al-quran, amtsal
al-quran,qira’at al-quran, qashash al-quran, tafsir, takwil dan terjemah
DI SUSUN OLEH:
Nama: Armin Kasim
Mahasiswa
JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN ALAUDIN MAKASSAR
2014
BAB I
Aqsam al quran
A. Pengertian Aqsam Al-Qur’an.
Aqsam adalah bentuk jamak dari kata
qasam (sumpah). Para pakar gramatika bahasa arab mengartikan qasam kalimat yang
berfungsi menguatkan berita, sedangkan menurut manna Al-Qaththah, qasam
semakna dengan hilf dan yamin, tetapi muatan makna kata qasam lebih tegas.
Dalam kamus bahasa Indonesia, sumpah (qasam) adalah pernyataan yang di
ucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang di anggap
suci bahwa apa yang dikatakan dan dijanjikan itu benar.
Jadi, aqsam al-Qur’an adalah sumpah-sumpah yang dinyatakan oleh Allah dalam
al-Qur’an, baik yang diperbuat atau tidak diperbuat terhadap suatu perbuatan
yang diperkuat dengan kata-kata sumpah sesuai dengan ketentuan syara’.
B. Unsur-unsur Aqsam dan ungkapannya.
1.
Fi’il (kata kerja) transitif dengan huruf ba’
Istilah Aqsam al-Qur’an terdiri atas dua kata, yakni aqsam dan
Al-Qur’an. Kata aqsam adalah bentuk jamak dari qasam yang berarti ‘’sumpah’’.
Kata kerja qasama berasal aqsama yang di ta’ddikan dengan huruf ba’ menjadi
aqsama bi yang bernama halafa bi atau yamin (sumpah). Misalnya:
واقسموا بالله جهد ايمنهم لا
يبعث الله من يموت ........ (النحل : 38)
Artinya:
‘’mereka
bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah nya yang sungguh-sungguh, ‘’Allah
tidak akan membangkitkan orang yang mati’’. (Qs. An-Nahl (16) : 38).
Kata aiman adalah bentuk jamak dari yamin yang berarti “tangan
kanan”. Sumpah disebut aiman, karena kebiasaan orang-orang arab dahulu
memegang tangan kanan temannya pada waktu mengucapkan sumpah.
Selanjutnya huruf qasam ba’ diganti wawu apabila muqasam nya terdiri atas isim
dhamir (kata ganti). Kadangkala huruf ba’ diganti oleh huruf ta’ apabila muqsam
nya lafazh jalalah, contoh nya:
قالوا تالله لقد علمتم ماجئنا لنفسد
في الارض وماكنا سرقين (يمسف : 73)
Artinya:
“saudara-saudara
yusuf menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang
bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para
pencuri.” (Qs. Yusuf (12) : 73)
2. Muhkam
bih (مُقسم به) adalah sesuatu yang
dijadikan sumpah oleh Allah.
Di dalam Al-Qur’an, Allah terkadang bersumpah dengan diri-Nya sendiri dan
terkadang pula dengan sifat-sifat-Nya. Sumpah-Nya dengan sebagian mahluk-Nya
menunjukan bahwa mahluk itu merupakan salah satu dari keagungan-Nya. Di dalam
Al-Qur’an, Allah bersumpah dengan diri-Nya sendiri pada tujuh tempat yakni:
1)
Surat Adz-Dzariyat (51) ayat 23 :
فورب السماء والارض انه لحق مثل ما
انكم تنطقون (الذاريات : 23)
Artinya:
“maka
Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar
(akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.”
2)
Surat Yunus (10) ayat 53
3)
Surat At-Taghabun (64) ayat 7
4)
Surat Maryam (19) ayat 68
5)
Surat Al-Hijr (15) ayat 92
6)
Surat An-Nisa (4) ayat 65
7)
Surat Al-Ma’arij (70) ayat 40
Allah
juga bersumpah dengan mahkluk-makhluk-Nya, yakni di dalam surat:
1)
Surat Asy-Syams (91) ayat 1-6 :
والشمس وضحها . والقمر اذا تلها .
والنهار اذا جلها . واليل اذا يغشها . والسماء ومابنها .
والارض وما
طحها . (الشمس : 1-6)
Artinya:
“demi
matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringnya, dan siang
apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya,
dan bumi serta penghamparannya.”
(Qs.
Asy-Syam (91) : 1-6)
2)
Surat Al-Lail (92) ayat 1-3
3)
Surat Al-Fajr (89) ayat 1-4
4)
Surat At-Takwir (81) ayat 15
5)
Surat At-Tin (95) ayat 1-2
Terhadap pertanyaan “mengapa Allah bersumpah dengan menyebut
mahkluk-mahkluk-Nya, padahal ada larangan untuk bersumpah dengan menyebut
selain Allah”. As-Suyuthi mengemukakan jawaban tersebut.
a.
Ada kata yang dibuang pada ungkapan demi buah tin dan demi buah
zaitun. Yakni, kata pemilik jadi, ungkapan yang sebenarnya adalah demi
pemilik buah tin dan demi pemilik matahari.
b.
Orang-orang Arab biasa mengungkapkan benda itu dan menjadikannya sumpah. Karena
itu Al-Qur’an pun turun dengan ungkapan sumpah yang mereka kenal.
c.
Sumpah dilakukan dengan menyebut sesuatu yang diagungkan dan dimuliakan
kedudukannya berada diatas orang yang bersumpah, sedangkan bagi Allah tidak ada
sesuatu pun yang kedudukannya lebih mulia.
Ibn Hatim mengeluarkan sebuah riwayat dari Al-Hasan yang menegaskan
bahwa Allah dapat saja bersumpah dengan menyebut nama-Nya sesuai dengan
kehendak makhluk-Nya, tetapi manusia hanya boleh bersumpah dengan menyebut nama
Allah.
Para ulama menuturkan bahwa Allah bersumpah pula dengan menyebutkan Nabi
pada firman-Nya:“Demi umurmu(Muhammad)” agar orang-orang mengetahui keagungan
Nabi Muhammad SAW disisi Allah.
Ibn Mardawiyyah pun mengeluarkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang
menegaskan bahwa Allah tidak pernah memuliakan makhluk-Nya melebihi Nabi
Muhammad
3.
Al-Muqsam ‘alaihi atau jawab al-qasam, yakni yang dimaksudkan
dalam ucapan sumpah, sesuatu yang diperkuat dengan sumpah. Untuk itu tidak
tepat difungsikan, kecuali menyangkut hal-hal berikut:
a.
Hendaklah yang disumpah atasnya memiliki kepentingan tersendiri.
b.
Hendaklah lawan bicara berada dalam kondisi meragukan ini pembicaraan.
c.
Lawan bicara tidak percaya terhadap ini pembicaraan.
C. Macam-macam Qasam (aqsam).
1.
Jenis-jenis aqsam Al-Qur’an
Ø
Ditinjau dari segi tujuan seseorang melakukan sumpah, para ulama membagi
sumpah kepada tiga kategori:
a.
Yamin al-Lagwi adalah suatu sumpah yang menggunakan nama Allah dalam
sumpah nya, tetapi tidak dimaksudkan atau diniatkan untuk bersumpah.
Sumpah
semacam ini tidak ada relevasinya dengan hokum, maksudnya bila ia melanggar
pernyataan nya pelanggar tidak diwajibkan membayar kaffarat, seperti firman nya
dalam Qs. Al-Baqarah (2): 225.
b.
Yamin al-Mun’aqidah adalah sumpah dengan menyebut nama Allah dalam
sumpahnya dan diucapkan dengan maksud untuk bersumpah, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syara’.
Sumpah
semacam ini, dihukum sumpah bila diniatkan untuk bersumpah, dan jika ia
melanggarnya, wajib membayar kaffarat. Allah berfirman dalam Qs. Al-Baqarah
(2): 225.
c.
Yamin al-Gumus yaitu sumpah palsu, sumpah yang berisi kedustaan,
kepalsuan, untuk mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.
Orang
yang demikian itu, diancam oleh Allah dengan azab yang besar, seperti
firman-nya dalam Qs. An-Nahl (16): 94.
Ø
Pembagian sumpah, apabila ditinjau dari segi sifatnya, para ulama
membaginya kedalam dua hal:
1)
Sumpah yang bersifat konkrit (zahir), yaitu apabila lafal sumpah berasal
dari isim zahir, seperti firman Allah dalam Qs. Al-Zariyat (51): 23.
2)
Sumpah yang bersifat abstrak yaitu sumpah yang dipahami dari segi makna,
sumpah seperti ini terbagi dua:
a)
Sumpah yang mempergunakan lam al-qasam, misalnya firman Allah (Qs. Maryam, 19:
186).
b)
Sumpah yang dipahami dari segi makna kalimat, misalnya Qs. Maryam (19): 71.
Ø
Sumpah ditinjau dari segi karaterisiknya, dapat dibagi kedalam tiga
bagian:
1)
Karena zatnya (bi zatihi).
2)
Karena prosesnya (fi’lihi).
3)
Karena objeknya (maf’ulihi).
.
BAB II
Amtsal al quran
A.
Pengertian amtsal al quran
Kata
amtsal adalah jamak dari kata matsal. Matsal, mitsl, dan matsil sama dengan
syabah, syibh dan syabih (semakna). Matsal diartikan dengan keadaan, kisah dan
sifat yang menarik perhatian, menakjubkan. Orang yang pertama kali menyebut
matsal ialah Al-Hakam ibn Yaghus yang membuat suatu perumpamaan bagi orang yang
biasanya tidak tepat lemparannya, yang sesekali tepat lemparannya. Menurut
keterangan ini harus ada sesuatu yang lebih dulu untuk diserupakan dengan yang
lain. Tetapi dalam Amtsal al-Quran tidak demikian.[1]
Menurut Drs. Rosihon anwar, M.A.g beliau berkata
bahwasanya ilmu amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan perumpamaan
Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang dikemukakan Al-Quran.
Amtsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk perkataan
yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik
berupa tasybih atau pun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
Menurut Ibnul Qoyyim amtsal Al-Qur’an adalah
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukum dan mendekatkan
sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang kongkrit (mahsus), atau mendekatkan
salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya
sebagai yang lain. Sebagaian besar contoh amtsal Al-Qur’an menurut Ibnul Qoyyim
menggunakan tasybih shorih seperti firman Allah:
“Sesungguhnya matsal kedudukan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang
Kami
turunkan dari langit” (QS.Yunus:24)
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa amtsal
Al-Qur’an adalah ilmu yang menerangkan tentang majaz, perbandingan, penyerupaan
sesuatu dengan yang lain dalam Al-Qur’an.
Amtsal al-Qur’an adalah:
إِبْرَازُ الْمَعْنَى فِي صُوْرَةٍ رَائِعَةٍ مُوْجِزَةٍ لَهَا وَقَعُهَا فِي الْنَّفْسِ سَوَاءٌ كَانَتْ تَشْبِیْهًا أَوْ قَوْلًا مُرْسَلًا
Yaitu menampakkan pengertian yang abstrak dalam bentuk yang indah dan
singkat yang mengena dalam jiwa baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal
(ungkapan
bebas).
Definisi inilah yang relevan dengan yang terdapat
dalam al-Qur’an, karena mencakup semua macam amtsal
al-Qur’an.
B.Unsur-unsur Amtsal
Al-Qur’an Sebagian Ulama
mengatakan bahwa Amtsal memiliki empat unsur, yaitu:
1. Wajhu Syabah:
segi perumpamaan
2. Adaatu Tasybih:
alat yang dipergunakan untuk tasybih
3. Musyabbah:
yang diperumpamakan
4. Musyabbah bih:
sesuatu yang dijadikan perumpamaan.
“Perumpamaan (nafkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap
bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia
kehendaki dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Wajhu Syabah pada ayat di atas adalah “pertumbuhan yang berlipat- lipat”. Adaatu
tasybihnya adalah kata matsal. Musyabbahnya adalah infaq atau
shadaqah di jalan Allah. Sedangkan musyabbah bihnya adalah benih.
C.Macam-macam
Amtsal dalam Al-Quran
Amtsal dalam al-Quran
ada 3 macam:
a.
Amtsal yang tegas (musharrahah).
b.
Amtsal yang tersembunyi (kaminah).
c.
Amtsal yang terlepas (mursalah).
Amtsal musharrahah ialah yang ditegaskan
di dalamnya lafal matsal atau yang menunjuk kepada tasybih. Di antaranya perumpamaan
yang Allah berikan terhadap orang-orang munafik dalam surat al-Baqarah. Di
dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi orang munafik. Pertama,
perumpamaan yang berhubungan dengan api. Dan yang kedua perumpamaan yang
berhubungan dengan air. Dan Allah membuat dua perumpamaan pula, perumpamaan
yang berhubungan dengan air dan perumpamaan yang berhubungan dengan api dalam
surah Ar-Ra’d.
Amtsal kaminah ialah yang tidak ditegaskan lafal tamsil.
Tetapi dia menunjukkan kepada beberapa makna yang indah dan mempunyai tekanan
apabila ia dipindahkan kepada yang menyerupainya. Para ulama telah membuat
contoh tentang amtsal ini dengan beberapa perumpamaan.
Di antaranya ayat yang senada dengan perkataan:
خيرالأُمُوْرِالْوَسَطُ
“Sebaik-baik urusan adalah yang seimbang.”
Allah berfirman:
...لا فارضٌ ولابكرٌعوانبين ذالك....البقرة: 68
“... Sapi betina yang tidak tua tidak muda, pertengahan antara
itu....” (QS. Al-Baqarah [2]: 68)
Dan yang senada dengan perkataan:
ليس الخيركالمعاينة.
“Berita itu tidak sama dengan kenyataan.”
Allah berfirman:
...قال أولم تؤمن قال بلى ولكن ليطمئنّ قلبي....البقرة:260
“...Dan apakah engkau belum beriman (percaya)? Ibrahim menjawab:
“Saya percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya....” (QS. Al-Baqarah
[2]: 260)
كماتَدِيْنُ تُدانُ.
“Sebagaimana engkau lakukan terhadap orang lain, begitulah yang
akan dilakukan terhadapmu.”
Allah berfirman:
...من يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَبِهِ....النّساء:123
“...Barang siapa mengerjakan kejahatan, niscaya akan dibalasnya
dengan kejahatan itu....”(QS. An-Nisa’ [4]: 123)
لَايُلْدَغُ المؤمن فى جحرٍمرّتين.
“Tidaklah seorang mukmin masuk ke dalam lubang binatng buas sampai
dua kali.”
Allah berfirman:
قال هل اّمنكم عليه إلا كما امِنتكم على أخيه من
قبلُ....يوسف:64
“Ya’kub berkata: “Tidaklah aku mempercayakannya
(Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf)
kepadamu dahulu....” (QS. Yusuf [12]: 64)
Amtsal mursalah ialah kalimat-kalimat
yang disebut secara terlepas tanpa ditegaskan lafal tasybih. Tetapi dapat
dipergunakan untuk tasybih.
Di antaranya adalah:
...اَلئن حصحص الحقُّ....يوسف:51
“...Sekarang
ini jelaslah kebenaran itu....” (QS. Yusuf [12]: 51)
D. Manfaat
Amtsal al-Quran
Di antara manfaat amtsal al-Quran ialah:
- Menonjolkan sesuatu yang hanya dapat dijangkau
dengan akal menjadi bentuk kongkrit yang dapat dirasakan atau difahami
oleh indera manusia.
- Menyingkapkan hakikat dari mengemukakan sesuatu
yang tidak nampak menjadi sesuatu yang seakan-akan nampak.
- Mengumpulkan makna yang menarik dan indah dalam
ungkapan yang padat, seperti dalam amtsal kaminah dan amtsal mursalah
dalam ayat- ayat di atas.
- Memotivasi orang untuk mengikuti atau mencontoh
perbuatan baik seperti apa yang digambarkan dalam amtsal.
- Menghindarkan diri dari perbuatan negatif.
- Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif
dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan dan lebih
dapat memuaskan hati. Dalam Al-Qur’an Allah swt. banyak menyebut amtsal
untuk peringatan dan supaya dapat diambil ibrahnya.
- Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan
juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan
diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.
Allah banyak menyebut amtsal dalam al-Quran
untuk pengajaran dan peringatan. Allah swt. berfirman:
ولقد ضربنا للنّاس في هذا القراّنِ من كلّ مَثَلٍ
لعلّهميتذكّرون. الزمر:37
“Dan sungguh telah Kami buat untuk manusia dalam al-Quran ini
berbagai macam rupa matsal. Mudah-mudahan mereka mengambil pelajaran dari
padanya.” (QS. Az-Zumar [39]: 27)
وتلك الأمثال نضربها للناس وما يعقلها
إلّاالعالمون. العنكبوت: 43
“Itulah matsal-matsal yang Kami buat untuk manusia dan tidaklah
dapat dipahamkan matsal-matsal itu melainkan oleh orang-orang yang berilmu.”
(QS. Al-Ankabut [29]: 43)
E. Ciri-Ciri Amtsal
Adapun ciri-ciri amtsal al-Quran, yaitu:
- Mengandung
penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas,
konkret, dan berkesan.
- Amtsal
memiliki kesejajaran antara situasi-situasi perumpamaan yang dimaksud dan
padannya.
- Ada
keseimbangan (Tawazun) antara perumpanaan dan keadaan yang dianologikan.
BAB III
QASHASH AL QUR’AN
A. PENGERTIAN
QASHASH AL QUR’AN
Dari segi bahasa, kata qashash berasal dari bahasa arab al
qashshu atau al qishshatu yang berarti cerita.3 dikatakan
قَصَصْتُ أَثَرَهً artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al
qashash adalah bentuk masdar. Firman allah: فَارْتَدَّا عَلىٰ
آثَارِهِمَاقَصَصًا (al kahfi :64). Dan firman allah melalui lisan ibu musa:
وَقَالَتْ لأُ خِتِهِ قُصِّيهِ (dan berkatalah ibu musa kepada saudaranya yang
perempuan: ikutilahdia.) [al qashash : 11]. Maksudnya, ikutilah jejaknya sampai
kamu melihat siapa yang mengambilnya.
Qashash berarti berita yang berurutan. Firman allah: إِنْ
هَذَا لَهُوَالْقَصَصُ الْحَقُّ (sesungguhnya ini adalah berita yang benar.)
[ali imran : 62]. Sedang al qishah berarti urusan, berita, perkara dan keadaan.
Qashash al qur’an adalah pemberitaan qur’an tentang hal
ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
B. MACAM-MACAM KISAH DALAM ALQUR’AN DAN KARAKTERISTIK
NYA
Kisah-kisah dalam al qur’an ada tiga macam.
Pertama, kisah para Nabi terdahulu. Kisah ini mengandung
informasi mengenai dakwah mereka kepada kaumnya, mukjizat-mukjizat yang
memperkuat dakwahnya, sikap orang-orang yang memusuhinya, tahapan-tahapan
dakwah dan perkembangannya serta akibat-akibat yang diterima oleh mereka yang
mempercayai dan golongan yang mendustakan. Misalnya kisah Nabi Nuh, Ibrahim,
Musa, Harun dan Isa.
Kedua, kisah-kisah menyangkut pribadi-pribadi dan
golongan-golongan dengan segala kejadiannya yang dinukil oleh Allah untuk
dijadikan pelajaran, seperti kisah Maryam, Lukman, Dzulqarnain, Qarun dan
Ashabul kahfi.
Ketiga, kisah-kisah menyangkut peristiwa-peristiwa pada masa
Rasulullah SAW. Seperti perang badar, perang uhud, perang ahzab,bani quraizah,
bani nadzir dan zaid bin haritsah dengan abu lahab.
Karakteristik kisah-kisah dalam al qur’an
Al
qur’an tidak menceritakan kejadian dan peristiwa-peristiwa secara berurutan (kronologis).
Sebuah kisah terkadang berulang kali disebutkan dalam al qur,an dan dikemukakan
dalam berbagai bentuk yang berbeda. Disatu tempat ada bagian-bagian yang
didahulukan, sedang di tempat lain diakhirkan. Demikian pula terkadang
dikemukakan secara ringkas dan kadang-kadang secara panjang lebar. Penyajian
kisah-kisah dalam al qur’an begitu rupa mengandung beberapa hikmah. Di
antaranya,
pertama, menjelaskan balaghah al qur’an dalam
tingkat paling tinggi. Kisah yang berulang itu dikemukakan di setiap tempat
dengan uslub yang berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam
pola yang berlainan pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan karenannya,
bahkan dapat menambah ke dalam jiwanya makna-makna baru yang tidak didapatkan
di saat membacanya di tempat yang lain.
Kedua, menunjukkan kehebatan al qur’an.
Sebab, mengemukakan sesuatu makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat di mana
salah satu bentuk pun tidak dapat ditandingi oleh sastrawan arab, merupakan
tantangan dahsyat dan bukti bahwa al qur’an itu datang dari Allah.
Ketiga, mengundang perhatian yang besar
terhadap kisah tersebut agar pesan-pesannya lebih mantap dan melekat dalam
jiwa. Hal ini karena pengulangan merupakan salah satu cara pengukuhan dan tanda
betapa besarnya perhatian al qur’an terhadap masalah tersebut. Misalnya kisah
Musa dengan Fir’aun. Kisah ini menggambarkan pergulatan sengit antara kebenaran
dengan kebatilan.
Keempat, penyajian seperti itu menunjukkan
perbedaan tujuan yang karenannya kisah itu diungkapkan. Sebagian dari makna-maknanya
diterangkan di satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedangkan
makna-makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain, sesuai dengan tuntutan
keadaan.
C. TUJUAN
KISAH DALAM AL QUR’AN
Cerita dalam al qur’an bukanlah
suatu gubahan yang hanya bernilai sastera saja, baik gaya bahasa maupun cara
menggambarkannya peristiwa-peristiwanya. Memang biasanya demikianlah wujudnya,
cerita yang merupakan hasil kesusastraan murni. Bentuknya hanya semata-mata
menggambarkan seni bahasa saja. Tetapi cerita dalam al qur’an merupakan salah
satu media untuk mewujudkan tujuannya yang asli. Jika dilihat dari keseluruhan
kisah yang ada maka tujuan-tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, salah satu tujuan cerita itu ialah
menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Dalam al qur’an tujuan ini diterangkan
dengan jelas di antaranya dalam QS.12 : 2-3 dan QS 28 : 3. Sebelum mengutarakan
cerita nabi musa, lebih dahulu al qur’an menegaskan, “kami membacakan
kepadamu sebagian dari cerita Musa dan Fir’aun dengan sebenarnya untuk kamu
yang beriman”. Dalam QS 3 : 44 pada permulaan cerita Maryam disebutkan, “itulah
berita yang ghaib, yang kami wahyukan kepadamu”.
Kedua, menerangkan
bahwa agama semuanya dari Allah, dari masa Nabi Nuh sampai dengan masa Nabi
Muhammad SAW, bahwa kaum muslimin semuanya merupakan satu umat. Bahwa Allah
yang maha esa adalah tuhan bagi semuanya (QS 21 : 51-92).
Ketiga, menerangkan bahwa agama itu semuanya
dasarnya satu dan itu semuanya dari tuhan yang Maha Esa (QS 7 : 59).
Keempat, menerangkan bahwa cara yang ditempuh
oleh nabi-nabi dalam berdakwah itu satu dan sambutan kaum mereka terhadap
dakwahnya itu juga serupa (QS Hud)
Kelima, menerangkan dasar yang sama antara
agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dengan agama Nabi Ibrahim As., secara
khusus, dengan agama-agama bangsa israil pada umumnya dan menerangkan
bahwa hubungan ini lebih erat daripada hubungan yang umum antara semua agama.
Keterangan ini berulang-ulang disebutkan dalam cerita Nabi Ibrahim, Musa dan
Isa As.
BAB IV
QIRA’AT ALQURAN
A.
Pengertian
Qira’at Al-Qur’an
Qira’at adalah bentuk jamak dari kata
qira’ah yang secara bahasa berarti
bacaan. Jadi, lafal
qiro’at secara lughawi berarti beberapa pembacaan. Secara istilah ada beberapa pendapat
tentang definisi tersebut, yaitu:
a.
Menurut
Az-Zarqani, qira’at adalah suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam yang berbeda
dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al karim serta disepakati riwayat dan
jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan
lafalnya.
Definisi ini mengandung tiga unsure pokok. Pertama qira’at
dimaksud menyangkut bacaan ayat-ayat. Kedua cara bacaan yang dianut dalam dalam
satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad.
Ketiga perbedaan qira’at bias terjadi dalam pelafalan huruf dan dalam berbagai
keadaan.
Ini sesuai dengan hadis nabi SAW. yang artinya:
“sesungguhnya
Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf (cara bacanya) maka bacalah (menurut)
makna yang engkau anggap mudah”
b.
Menurut Ibnu
Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-Qur’an
dengan membangsakan kepada penukilnya.
B.
Latar Belakang Timbulnya perbedaan Qira’at
Al-qur’an memiliki makna sebagai bacaan, namun dalam perihal membaca
al-qur’an ini memiliki kesukaran pada setiap pembaca dalam keadaan. Dengan
demikian timbulah ilmu qira’at yang mana qira’at sebenarnya
telah muncul semenjak Nabi SAW masih ada walaupun tentu saja pada saat itu qira’at
bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung
asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika ’Umar bin
Al-Khaththab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat
al-Qur’an. ’Umar tidak puas terhaap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat
Al-Furqan. Menurut ’Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa
yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya
juga berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi seraya
melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu
shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :”Memang begitulah
Al-Qur’an diturunkan, Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf,
maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita : ”Saya
masuk ke Masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan
membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah
selesai, saya bertanya, ”Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia
menjawab, ”Rasulullah SAW”. Kemudian, datanglah seseorang yang mengerjakan
shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl [16], tetapi bacaannya berbeda
dengan bacaan saya dan bacaan teman tadi. Setelah shalatnya selesai, saya
bertanya,” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ? ”Ia menjawab,
”Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya
sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu
membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, Baik.
Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi
pun menjawabnya baik”.
Selanjutnya
periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa
tabi’in. Orang-orang yang menguasai Al-Qur’an ialah yang menerimanya dari
orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari
Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan
bentuk kalimat didalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau
tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain
dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang
riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’ah dan Al Qur’an.Kalangan
sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul menggunakan sara berbeda-beda.
Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian
mereka tersebar keseluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu
Bakar Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah
disusun Zaib bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa
Al-Asy’ari, Miqdad bin amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai
andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat
bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan
kawan-kawannya, kecualai pada dua hal saja, yaitu kronologi surat dan sebagian
bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena
mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing[1].
Adanya
mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru,
pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat
yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa
dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabin sehingga
pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang
disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada ’Utsman.
Ketika mengirim
mushaf-mushaf keseluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a. mengirimkan
pula para sahabat yang memiliki cara membaca tersendiri dengan masing-masing
mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar keseluruh daerah dengan
bacaan yang berbeda itu, para tabi’in mengikuti mereka dalam hal bacaan yang
dibawa oleh para sahabat tersebut. Dengan demikian, beraneka-ragamlah
pengambilan para tabi’in, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam Qari’ yang
masyhur yang berkecimpung didalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat
dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Tatkala para qori
pada masa tabi’iin yaitu pada awal abad II H tersebar ke berbagai pelosok.
Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat
imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun-temurun dari
guru ke guru, sehingga sampai kepada imam-imam qira’at, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empat belas.
Imam-Imam qira’at
bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa
membedakan antara bacaan yang benar dan yang
salah. Mereka
mengumpulkan qira’at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah.
Sesudah itu para Imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang
pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu Ubaidillah
al-Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak kurang lebih 25
Macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang
menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan
qiro’at terus berkembang sampai masa Abu Bakar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang
terkenal dengan nama ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh
macam qira’at yang disesuai dengan tujuh imam qori’. Berkat jasanya dapat diketahui
mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.
C. Macam-Macam
Qira’at Al-Qur’an
Di dalam ilmu qira’at ada
macam-macamnya ,dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga
macam yaitu:
a.
Qira’at sab’ah
(qir’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin Katsir
Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu ‘Amar,
Ya’qub (nama lengkapnya Ibn Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim.
.
Qira’at
‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas
ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin
Ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah bin Abu Ishaq
Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf bin Hisam.
c.
Qira’at Arba’at
Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan
diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-Bashri,
Muhammad bin ‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin Al-Mubarak
Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin
Ahmad Asy-Syanbudz.
Dilihat dari
segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu:
a.
Qira’ah
Mutawatir yakni qiraa’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
tidak mungkin sepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan
yakni sampai kepada Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.
b.
Qira’ah Masyhur
yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada kualitas
mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf Utsmani,
masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan
Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama
menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.[2]
c.
Qira’ah Ahad
yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf
Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana
qira’at mutawatir dan qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan
tidak wajib meyakininya.
d.
Qira’ah Syadz
(menyimpang) yakni qira’at yang sanadnya tidak shohih.
e.
Qira’at Maudhu’
(palsu atau dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada asalnya.[3]
f.
Qira’at Mudraj
(sisipan) yakni qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang
sah.
BAB V
TAFSIR,TA’WIL,TERJEMAH
A.
TAFSIR
1. Pengertian Tafsir
Kata tafsir diambil dari bahasa arab yaitu
fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian. Tafsir secara
bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal dari akar kata al-fasr yang berarti
menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak.
Kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata
“at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafaz yang musykil. Pengertian
tafsir dengan makna di atas, sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Furqan :
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (sesuatu)
yang ganjil melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya”. (QS. 25 : 33)
Maksudnya ialah: penjelasan yang lengkap dan terperinci
sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abas.
Menurut Abu Hayyan, tafsir, secara terminologis merupakan
ilmu yang membahas tentang metode mengucapkan lafazh-lafazh al Qur`an, petunjuk-petunjuknya,
hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dari
makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun dari hal-hal yang
melengkapinya.
Kata
As Zarkasyy dalam Al Burhan “Tafsir itu, ialah menerangkan makna-makna Al
Qur-an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
2. Kedudukan Tafsir
Tafsir ialah dari ilmu-ilmu syari’at yang paling
mulia dan paling tinggi. Ia adalah ilmu yang paling mulia, sebagai judul,
tujuan, dan kebutuhan, karena judul pembicaraan ialah kalaam atau wahyu Allah
SWT yang jadi sumber segala hikmah dan sumber segala keutamaan. Selanjutnya,
bahwa jadi tujuannya ialah berpegang pada tali Allah yang kuat dan menyampaikan
kepada kebahagiaan yang hakikat atau sebenamya. Sesungguhnya makin terasa
kebutuhan padanya ialah, karena setiap kesempurnaan agama dan dunia, haruslah
sesuai dengan ketentuan syara’. Ia sesuai bila ia sesuai dengan ilmu yang
terdapat dalam Kitab Allah SWT.
- Ta’wil
- Pengertian
Ta’wil
Ta’wil secara bahasa berasal dari kata “aul”, yang berarti
kembali ke asal. Adapun mengenai arti takwil menurut istilah adalah suatu usaha
untuk memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an melalui pendekatan pemahaman
arti yang dikandung oleh lafazh itu. Dengan kata lain, takwil berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan
merupakan makna lahirnya. Kata sebahagian ulama : “Ta‘wil ialah mengembalikan
sesuatu kepada ghayahnya, yakni menerangkan apa yang dimaksud daripadanya.” Sebahagian
yang lain berkata : “Ta‘wil ialah menerangkan salah satu makna yang dapat
diterima oleh lafadh.”
- Perbedaan Tafsir
dan Ta’wil
Para
mufassirin telah berselisihan pendapat dalam memberikan makna Tafsir dan
Ta’wil. Kata Ar Raghib Al Asfahany : “Tafsir lebih umum dari ta’ wil. Dia lebih
banyak dipakai mengenai kata-kata tunggal. Sedang ta’wil lebih banyak dipakai
mengenai makna dan susunan kalimat.”
Kata
Abu Thalib Ats Tsa’laby : “Tafsir ialah, menerangkan makna lafadh, baik makna
hakikatnya maupun makna majaznya, seperti mentafsirkan makna Ash Shirath dengan
jalan dan Ash Shaiyib dengan hujan. Ta’wil ialah, mentafsirkan bathin lafadh.
Jadi tafsir bersifat menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil
menerangkan hakikat yang dikehendaki.
Umpamanya
firman Allah s.w.t.:
“Bahwasanya
Tuhanmu itu sungguh selalu memperhatikan kamu.”
(Q.A.
14. S. 89 . AlFajr).
Tafsirnya
ialah, bahwasanya Allah senantiasa dalam mengintai-intai memperhatikan keadaan
hamba-Nya. Adapun ta’wilnya, ialah menakutkan manusia dari berlalai-lalai, dari
lengah mempersiapkan persiapan yang perlu. Kata segolongan pula : “Tafsir
berpaut dengan Riwayat. sedang ta’wil berpaut dengan Dirayat. Hal ini
mengingat, bahwa tafsir dilakukan dengan apa yang dinukilkan dari Sahabat,
sedang ta’wil difahamkan dari ayat dengan mempergunakan undang-undang bahasa
‘Arab.
Umpamanya
firman Allah:
“Dia
mengeluarkan yang hidup dari yang mati.” (Q.A. 95.S. 6: Al An’am).
Maka
jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung
dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki,
mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir,
dinamailah ta’wil.
Perbedaan
antara keduanya dapat dipaparkan di bawah ini.
1.
TAFSIR
- Pemakaiannya
banyak dalam lafazh-lafazh dan mufradat
- Jelas
diterangkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits sahih
- Banyak
berhubungan dengan riwayat
- Digunakan
dalam ayat-ayat muhkamat (jelas)
- Bersifat
menerangkan petunjuk yang dikehendaki.
2.
TAKWIL
- Pemakaiannya
lebih banyak pada makna-makna dan susunan kalimat
- Kebanyakan
diistinbath oleh para ulama
- Banyak
berhubungan dengan dirayat
- Digunakan
dalam ayat-ayat mutasyabihat (tidak jelas)
- Menerangkan
hakikat yang dikehendaki
- Terjemah
Secara lafazh terjamah dalam bahasa Arab memiliki
arti mengalihkan pembicaraan (kalam) dari satu bahasa ke bahasa lain. Hal ini
sebagaimana diungkapkan dalam kitab Lisa al-’Arab:
Yang
dimaksud dengan turjuman (dengan menggunakan dhammah) atau tarjuman (dengan
fathah) adalah yang menterjemahkan kalam (pembicaraan), yaitu memindahkannya
dari satu bahasa ke bahasa yang lain.
Sedangkan
pengertian terjamah secara terminologis, sebagaimana didefinisikan oleh
Muhammad ‘Abd al-’Azhim al Zarqani sebagai berikut:
Terjamah
ialah mengungkapkan makna kalam (pembicaraan) yang terkandung dalam suatu
bahasa dengan kalam yang lain dan dengan menggunakan bahasa yang lain (bukan
bahasa pertama), lengkap dengan semua makna-maknanya dan maksud-maksudnya.
Kata
“terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti:
1).
Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam
lafaz-lafaz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan
tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2).
Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna
pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa
asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka
yang mempunyai pengetahuan tentang bahasa-bahasa tentu mengetahui bahwa
terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana di atas tidak mungkin dapat
dicapai dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap
dipertahankan. Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lain
dalam hal tertib bagian-bagian kalimatnya.
Secara
umum, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam terjemah, baik terjemah harfiyah
maupun tarjamah tafsiriyah adalah:
- Penerjemah
memahami tema yang terdapat dalam kedua bahasa, baik bahasa pertama maupun
bahasa terjemahnya;
- Penerjemah
memahami gaya bahasa (uslub) dan ciri-ciri khusus atau karakteristik dari
kedua bahasa tersebut;
- Hendaknya
dalam terjemahan terpenuhi semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh
bahasa pertama;